Tugas :
FINAL
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
OLEH
HARDANIA
10030101012
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN
QAIMUDDIN KENDARI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Konflik merupakan gejala ilmiah dan
tidak dapat dielakkan dalam kehidupan sosial, namun konflik tidak harus
berkepanjangan. Motivasi untuk mengakhiri konflik bisa karena lelah atau bosan
dan karena adanya keinginan untuk mencurahkan tenaganya ke hal-hal lain. Simmel
dalam Doyle Paul Johnson (1986) menganalisa beberapa bentuk atau cara untuk
mengakhiri konflik termasuk menghilangkan dasar konflik dari tindakan-tindakan
mereka yang sedang berkonflik, kemenangan pihak yang satu dan kekalahan pihak
yang lain, kompromi, perdamaian dan ketidakmungkinan untuk berdamai
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupn sehari- hari
kita tidak dapat menghindari terjadinya suatu konflik. Konflik bisa saja
terjadi pada siapapun dan dengan siapa saja, baik dengan lingkungan social
masyarakat, sesama suku, sesama teman bahkan dengan keluarga sekalipun.
Berbagai perbedaan yang dimiliki dapat menjadi pemicu terjadinya konfli,
berbeda cara berfikir, berbeda budaya, berbeda agama, berbeda kelompok, dan
lain sebagainya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
deskripsi konflik komunikasi antar budaya?
2.
Apa
penyebab terjadinya konflik?
3.
Solusi
apa yang sebaiknya dilakukan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Deskripsi
Kasus
Pertikaian
Pemuda kelurahan Gunung Jati dan Kelurahan Jati Mekar,Kota Kendari
Pertikaian antar pemuda kelurahan gunung jati kecamatan
kendari, kota kendari, Sulawesi tenggara (Sultra) sejak beberapa bulan
terakhir, hingga saat ini tak kunjung berakhir. Sejumlah rumah penduduk
setempat, barang berharga berupa sepeda motor serta warga yang tidak tahu
menahu persoalan itu, menjadi korban kebrutalan atas insiden dua kelompok
pemuda yang bertikai. Meski demikian, tak satupun pelaku yang ditangkap, di
proses secara hukum hingga diadili demi penegakan hukum yang menjadi panglima
tertinggi di negeri ini.
Salah
seorang Legislator di Lembaga Legislatif DPRD Provinsi sulawesi tenggara, La
Pili mengungkapkan, pertikaian warga gunung jati bisa direda dan teratasi jika
aparat kepolisian lebih tegas dalam mengambil sikap dengan menindak tegas,
tidak hanya dengan persuasive.Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera itu juga
mengungkapkan, hal ini juga diharapkan peran para tokoh masyarakat dalam
mendamaikan warga setempat, karna jika tidak dari warga gunung jati sendiri
yang dapat meredah, maka takan selesai pertikaian itu.
Jika
hal itu juga belum menemui titik temu dalam menyelesaikan konflik antar pemuda
itu kata La Pili, maka semua warga setempat kembali tradisi muna dengan
menggunakan filsafat Muna yang dianut para leluhur di kala itu, yakni Poangka-angka tao, Pomasi-masigho, dan
popia-piara yang berartikan saling berangkulan, saling
menyayangi dan saling menjaga satu sama lain sehingga tidak mudah terprovokasi
dan tidak mudah tergoyahkan hanya karena ulah oknum tertentu yang sengaja
merusak daerah serta adat dan budaya masyarakat Muna.
Langkah
penyelesaian pertikaian pemuda warga masyarakat gunung jati, sebelumnya telah
dilakukan dalam bentuk penandatanganan perdamaian yang disaksikan langsung
Wakil Walikota Kendari, Musaddar Mappasomba, Kapolres Kota Kendari, AKBP.Yuyun
Yudhantara serta Dandim 1417 Kendari Letkol.Inf.Djoko S.Pran.
Namun
kesepakatan itu hanyalah slogan semata, karna terbukti sampai saat ini
masih saja terjadi pertikaian baik siang maupun di malam hari, dan bahkan aksi
kekerasan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan sekelompok pemuda,
dipertontonkan di hadapan aparat penegak hukum.
B.
Penyebab
Konflik
Menurut penulis, merujuk kepada materi komunikasi
antar budaya yang dipelajari dalam perkuliahan, penyebab terjadinya konflik
antar dua kelurahan itu akibat kurang efektifnya komunikasi yang terjadi antara
dua kelurahan tersebut. Padaha jika merujuk pada suku kedua kelurahan yang
mayoritas muna, seharusnya konflik tersebut tidak terjadi. Namun nampaknya
kedua kelurahan tersebut telah memiliki kedekatan terhadap kelompoknya masing-
masing sehingga dapat menimbulkan konflik antara kedua belah pihak.
Hal ini juga menunjukkan bahwa antara kelompok
social warga kelurahan Gunung Jati dan Kelurahan Jati Mekar telah terjadi miscomunication sehingga kedua belah
pihak yang bertikai tidak dapat melakukan suatu tindakan penyelesaian masalah
secara damai sehingga berbuntut pada pemerasan dan pemukulan yang kemudian
berkembang pada konflik antar dua kelurahan yang juga melibatkan serta
merugikan pihak lain. Ketidak effektifnya proses komunikasi antar dua kelurahan
ini merupakan suatu sumber dari konflik
yang terjadi antara kedua kelurahan. Sehingga fungsi komunikasi interpersonal yang efektif yaitu membentuk serta menjaga hubungan baik antar individu, menyampaikan pengetahuan, mengubah sikap dan perilaku, pemecahan masalah
hubungan antar pribadi dan citra diri menjadi lebih baik tidak dapat
tercapai. Selain itu, rasa solidaritas yang tinggi serta kedekatan terhadap
sesama warga yang berada satu kelurahan menyebabkan warga tidak rela bila ada
salah seorang warganya disakiti atau dianiaya oleh warga lain.
Tidak
berhasilnya komunikasi antara dua kelurahan ini menyebabkan komunikasi yang
ereka lakukan tidak memenuhi fungsinya.
Menurut
Mulyana( 2007) agar komunikasi kita berhasil, bahasa harus memenuhi tiga fungsi
yaitu: untuk mengenal dunia disekitar kita; berhubungan dengan orang lain; dan
untuk menciptakan koherensi dalam hidup kita. Fungsi bahasa kedua adalah
sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini berkaitan dengan
fungsi komunikasi khususnya fungsi sosial dan fungsi instrumental. Melaui
bahasa kita dapat mengandalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang disekitar
kita. Kemampuan orang lain dengan orang lain tidak hanya tergantung pada bahasa
yang sama, namun juga pengalaman yang sama dan makna yang sam dalam kata-kata
yang kita sampaikan. Sedangkan fungsi ketiga memungkinkan kita untuk hidup
lebih teratur, saling memahami diantara kita, baik kepercayaan maupun
tujuan-tujuan kita.
Ini juga merupakan dampak dari
Etnosentrisme sehingga banyak warga yang semakin terlibat dalam konflik
tersebut. Menurut The Random House Dictionary etnosentrisme adalah kepercayaan
pada superioritas kelompok atau budayanya sendiri, etnosentrisme cenderung
menganggap rendah orang-orang yang dianggap asing dan memandang atau mengukur
budayanya dan membandingkan dengan budaya asing. Karena etnosentrisme biasanya
dipelajari pada tingkat ketidaksadaran dan diwujudkan pada tingkat kesadaran,
sehingga sulit untuk melacak asal usulnya. Bahayanya penilian itu sering kali
salah, semena-mena dan tidak berdasar sama sekali.
C.
Solusi
Penyelesaian Konflik
Jika
dilihat dari penyebab utama terjadinya konflik antara kedua belah pihak yaitu
tidak terciptanya komunikasi yang efektif antara kedua kelurahan, maka langkah
yang dapat di tempuh yaitu dengan memvasilitasi untuk mempertemukan dua
kelurahan yang berkonflik, untuk kemudian mereka tidak hanya sampai disitu,
melihat pertikaian yang sering terjadi antara kedua kelurahan maka akan
membutuhkan waktu
untuk kemudia pemerinth di daerah setempat berusaha untuk menciptakan
komunikasi yang efektif antara kedua kelurahan masing- masing, sehingga
kedepannya tidak terulang kembali peristiwa yang sama. Menciptakan komunikasi
yang efektif ini dapat dilakukan dengan menciptakan suatu sikap positif dari
masing- masing kelurahan. Devito
(1997:259-264) mengemukakan lima sikap positif yang perlu dipertimbangkan
ketika seseorang merencanakan komunikasi interpersonal. Lima sikap positif
tersebut, meliputi:
a.) Keterbukaan (openness)
Keterbukaan ialah sikap dapat
menerima masukan dari orang lain, serta berkenaan menyampaikan informasi
penting kepada orang lain. Dalam proses komunikasi interpersonal, keterbukaan
menjadi salah satu sikap positif. Hal ini disebabkan, dengan keterbukaan, maka
komunikasi interpersonal akan berlangsung secara adil, transparan, dua arah,
dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkomunikasi.
b.) Empati (empathy)
Empati ialah kemampuan seseorang
untuk merasakan kalau seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu
yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain,
dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain, melalui
kaca mata orang lain.
c.) Sikap mendukung (supportiveness)
Hubungan interpersonal yang
efektif adalah hubungan di mana terdapat sikap mendukung (supportiveness).
Artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk
mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka.
d.) Sikap positif (positiveness)
Sikap positif (positiveness) ditunjukkan dalam bentuk sikap dan
perilaku. Sikap positif dapat ditunjukkan dengan berbagai macam perilaku dan
sikap, antara lain:
Ø Menghargai orang lain
Ø Berfikiran positif terhadap orang lain
Ø Tidak menaruh curiga secara berlebihan
Ø Meyakini pentingnya orang lain
Ø Memberikan pujian dan penghargaan
Ø Komitmen menjalin kerjasama
e.)
Kesetaraan (equality)
Kesetaraan (equality) ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak
memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan
saling memerlukan. Indicator kesetaraan meliputi:
Ø Menempatkan diri setara dengan orang lain
Ø
Menyadari akan
adanya kepentingan yang berbeda
Ø
Mengakui
pentingnya kehadiran orang lain
Ø
Tidak memaksa
kehendak
Ø
Komunikasi dua
arah
Ø
Saling
memerlukan
Ø Suasana komunikasi akrab dan nyaman
Selain itu, salah satu cara yang juga dapat
ditempuh dengan segera kepada masyarkat yang tengah berkonflik yaitu dengan
sikap tegas para penegak hukum (polisi) untuk kemudian mengamankan orang- orang
yang berkonflik dan yang melakukan tindakan provokasi sehingga konflik tidak
semakin berlarut- larut.
Ada 5 urutan cara penyelesaian konflik yang lazim
digunakan yaitu :
1. Konsiliasi atau
Perdamaian, yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang beselisih
guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai.
2. Mediasi (Mediatio),
yaitu suatu cara untuk menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang
pengantar (mediator) yang fungsinya hampir sama dengan konsiliator.
3. Arbitrasi (Arbitrium),
artinya melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai
pengambil keputusan. Keputusan arbiter ini mengikat kedua pihak yang
bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati.
4. Paksaan (Coersion),
ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau
psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah
paksaan fisik.
5. Detente
(Mengendorkan), ialah mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang
bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam
rangka pembicaraan tentang langkah-langkah mencapai perdamaian (Hendro Puspito
O.C., 1989:250).
Hal
yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah meminimalisir etnosentis pada
masing- masing warga kelurahan Gunung Jati dan Jati Raya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang dapat ditarik dari kasus ini bahwa teradinya konflik antara
kelurahan Gunung Jati dan Kelurahan Jati Mekar adalah disebabkan kurang
efektifnya komunikasi antar personal yang dimiliki oleh masing- masing wara
terhadap kelurahan yang lain.
Cara
yang dapatdilakukan untuk menghentikan konflik yaitu dengan mengupayakan
terjadinya dialog yang efektif antara dua pihak yang bertikai dan kedepannya
pemerintah kedua kelurahan membangun hubungan dengan komunikasi yang lebih
efektif serta yang tidak kalah pentingnya mengurangi tingkan etnosentris pada
masing- masing warga kelurahan.
B. Saran
Hendaknya
setiap kelompok masyarakat menjalin hubungan yang baik dengan warga yang lain
meskipun tidak sekelurahan karena sebagai makhluk sosil tentubnya akan selalu
membutuhkan bantuan dari orang lain.
Daftar
Rujukan:.
http://ennybarry.blogspot.com/2011/04/komunikasi-antar-budaya-memahami_25.html
D.
“Dua kabupaten itu sangat berpotensi terjadi kerawanan sosial karena pengamanan di dua wilayah kabupaten tersebut hanya ditangani satu Polres,” kata Kapolda Sultra, Brigjen Pol Arkian Lubis di Kendari, Kamis (30/7).
BalasHapusDua Wilayah di Kabupetan Sulawesi Tenggara Rawan Terjadi Konflik